Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Psikologi’ Category

main-game-dalamVideo game sudah menjadi candu karena dianggap bisa menghibur seseorang, tidak terkecuali bagi anak-anak. Tapi anak-anak yang terlalu sering bermain game akan membahayakan fisik dan psikologisnya.

Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Kaiser Family Foundation terhadap 2.032 anak-anak dengan usia antara 3 tahun sampai 12 tahun mengenai seberapa sering anak-anak tersebut bermain video games atau game di komputer. Ternyata didapatkan 73 persen anak laki-laki berusia 8 tahun sampai 10 tahun rata-rata bermain game satu jam per hari dan hampir 68 persen anak usia 12 tahun sampai 14 tahun bermain game untuk usia 17 tahun ke atas.

Seperti dikutip dari PsychiatricTime, Jumat (16/10/2009), alasan anak-anak bermain game adalah ingin mencoba sesuatu yang baru dan untuk menghilangkan stres akibat tugas sekolah atau karena suatu masalah.

Tapi terlalu sering bemain game akan mempengaruhi kepribadian dari anak itu sendiri, karena pada saat usia 4 tahun sampai 17 tahun anak-anak cenderung menyerap dan meniru segala sesuatu yang dilihatnya sehingga mempengaruhi perkembangan tubuhnya.

Apalagi saat ini juga banyak game yang dimainkan oleh anak-anak mengandung kekerasan, dampak dari permainan ini bisa membentuk anak menjadi seorang pemberontak, keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang dilarang, serta memiliki kelakuan yang kadang sulit diterima masyarakat.

Salah satu masalah kesehatan yyang paling sering terjadi pada anak yang suka main game adalah postur tubuh yang bungkuk atau bengkok, ini terjadi akibat posisi duduk yang tidak beraturan di depan layar televisi atau komputer. Selain itu bermain game setiap hari dengan waktu yang lama bisa menyebabkan kerusakan pada sendi-sendi atau iritasi kulit.

Masalah lain juga bisa muncul seperti merusak penglihatan anak, hal ini karena bermain terlalu lama dengan jarak mata dan monitor yang terlalu dekat atau bisa juga karena ruangan yang gelap dan gambar yang berubah dengan cepat. Serta bisa menyebabkan seorang anak mengalami obesitas akibat kurangnya aktivitas di luar dan hanya duduk depan layar saja.

Selain masalah pada fisik anak, bermain game juga bisa menimbulkan masalah psikologis anak khususnya jika game yang dimainkan mengandung kekerasan. Bisa saja anak-anak menirukan apa yang dilihatnya tersebut dalam kehidupan nyata, jadi tidak heran jika banyak kekerasan yang timbul pada anak-anak sekolah dasar.

Kekerasan dalam game lebih berbahaya, karena anak terlibat dalam interaksi tersebut. Pahlawan yang melakukan kekerasan dalam game tersebut tidak pernah dihukum dan cenderung dihargai, sehingga bisa saja anak berpendapat bahwa kekerasan adalah sesuatu yang benar. Penelitian ilmiah membuktikan anak yang sering bermain game kekerasan cenderung lebih agresif.

Seorang anak boleh saja bermain game, asalkan waktunya dibatasi dan hal yang terpenting adalah pemilihan game yang tepat untuk anak-anak. Serta orangtua harus tegas dalam menentukan waktu bermain game bagi anaknya. @sumber: detik.com

Read Full Post »

Anak mandiri biasanya mampu mengatasi persoalan yang menghadangnya. Kemandirian itu tentu harus dilatih sejak dini. Orangtua jangan gampang berteriak “tidak” atau “jangan,” bila menginginkan anak cerdas dan penuh percaya diri.

Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan mengatur diri sendiri (self regulation). Anak paham akan tuntutan lingkungan terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya.

Anak mandiri mampu memenuhi tuntutan lingkungannya. Contohnya, anak usia 3-4 tahun yang sudah bisa menggunakan alat makan, harusnya bisa makan sendiri. “Nah, ini yang dimaksud kemandirian,” ujar Roslina Verauli, M.Psi., psikolog klinis anak dari Empati Development Center.

Secara umum kemandirian bisa dilihat dari tingkah laku. Namun, kemandirian tidak selalu berbentuk fisik yang ditampilkan dalam tingkah laku. Ada bentuk emosional dan sosialnya.

Menurut psikolog yang kerap disapa Vera ini, anak mampu berpisah dalam waktu singkat dengan orangtuanya, misalnya saat mulai bersekolah. Anak bisa masuk ke kelas dengan nyaman karena mampu mengontrol dirinya. Ini bentuk secara emosional.

Kemudian secara sosial, anak tidak harus selalu berinteraksi dengan pengasuhnya. Ia bisa berhubungan dengan orang lain secara independen sebagai individu. Sejak usia dini, sekitar 2-3 tahun, anak sebetulnya sudah menunjukkan perilaku dasar mandiri. Orangtua bisa melihat keinginan mandiri itu dengan memperhatikan gejala yang ada.

Perilaku dasar mandiri yang dimaksud Vera adalah perilaku adaptif, yang sesuai dengan usia anak. Di usia 3-4 tahun, anak sudah mulai makan sendiri, menggunakan celana sendiri, dan saat hendak pipis ia bisa ke toilet sendiri. Dengan kata lain, anak bisa melakukan kemampuan dasarnya.

Saat berusia 3-4 tahun dan sudah mulai masuk kelompok bermain atau taman kanak-kanak, anak sudah paham bahwa ia telah mandiri secara emosional. Anak paham ibunya berada di luar kelas, sehingga ia tetap merasa nyaman. Saat merasa takut, anak bisa melihat ibunya sedang menunggu di luar. Ini berarti anak sudah bisa mengontrol dirinya.

Saat anak ingin memegang gelas, sendok, atau peralatan makan, sebenarnya sudah menjadi petunjuk gejala mandiri. Saat itulah orangtua maupun pengasuh bisa melatih anak memegang peralatan makannya dan makan sendiri. Atau saat anak ingin naik tangga sendiri, orangtua sebenarnya bisa memberi kesempatan padanya untuk melakukan hal itu.

Sayangnya, orangtua atau pengasuh kadangkala suka melarang anak melakukan hal tersebut. Banyak alasan atas larangan itu, misalnya, karena khawatir benda yang dipegang anak akan jatuh. Tanpa disadari, larangan itu justru menghambat kesempatan anak untuk belajar mandiri.

Tak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri, kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak jadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tak ada salahnya memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya.

“Yang membuat anak terlambat mandiri adalah orangtua yang cenderung terlalu protektif. Mereka merasa tidak nyaman melepaskan anaknya,” ungkap lulusan Fakultas Psikologi UI ini.

Padahal, setiap anak mampu mengukur, seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat berada di ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan tidak melompat. “Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya, tetapi tetap harus diawasi,” ujar Vera.

Banyak orangtua dinilai Vera tergolong pencemas. Kecemasan itu sebagai bentuk kompensasi dari kesibukan atau perasaan ketidakkompetenan orangtua. Sebagai akibatnya, anak tidak kunjung mandiri. Sebaliknya, Anak malah bersikap manja.

Kemanjaan itu bisa timbul karena perasaan tidak aman dalam dirinya. Perasaan ini muncul karena pola asuh orangtua yang terlalu melindungi, memanjakan, atau karena kepribadian anak yang cenderung penakut. Hal lainnya karena pengaruh lingkungan. Ada lingkungan yang membuat anak merasa terancam.

Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin anak akan menjadi manja. Anak tidak mempunyai kemampuan untuk menyadari bahwa ia bisa mengatur diri sendiri.

Saat berada di kehidupan nyata, anak yang manja ini bisa terkaget-kaget. Pasalnya, tak semua orang peduli pada dirinya dan memenuhi keinginannya seperti halnya di rumah. Hal ini akan menciptakan anak yang tidak percaya diri.

Anak yang manja sulit menyesuaikan diri di antara teman-temannya. “Karena ia tidak paham bila berinteraksi sosial dengan orang lain ada aturan yang harus diikuti, bahwa anak harus saling berbagi, dan lain-lain,” sebut Vera. Rentang toleransi anak manja biasanya rendah.

“Tetapi, tidak ada kata terlambat untuk melatih anak menjadi mandiri. Asalkan ada kesempatan bagi anak untuk menunjukkan perilaku mandirinya,” ujarnya. Hanya saja, akan semakin sulit manakala usia anak makin bertambah karena sebelumnya anak selalu bergantung pada orangtua dan pengasuhnya. Anak akan menuntut untuk terus dilayani, diperhatikan, hingga akhirnya sulit diubah.

Seberapa pun sulitnya, anak tetap bisa dilatih mandiri. Yang penting, orangtua konsisten bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan anak, khususnya kemampuan adaptif.

Dengan dilatih mandiri, anak akan lebih percaya diri, bertanggung jawab, dan cerdas. Anak seperti ini yang Anda inginkan, bukan? @Diana Yunita Sari

Read Full Post »