Selama tahun 1945-1950, Soeharto terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan RI. Selama kurun waktu tersebut ia memegang jabatan sebagai komandan kompi, komendan batalyon, komandang brigade, komandan WK (Wehr Kreise) di Yogyakarta.
Pada kurun waktu tersebut, Soeharto pada 26 Desember 1947 menikah dengan putri wedana Surakarta bernama Siti Hartinah (24 tahun) di Surakarta. Pasangan tersebut dikaruniai enam anak yakni Siti Hardijanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harjadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hetami Endang Adiningsih (Mamiek).
Pada 1950, Soeharto menjabat Komandan Brigade Mataram yang pernah bertugas memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Pada 1951-1953 ia menjabat Komandan Brigade Pragola, Surakarta dan Komandan Resimen 15 pada tahun 1953-1956.
Pada 1956 Soeharto menjabat Perwira Menengah yang diperbantukan Kepala Staf untuk mengikuti Planning SUAD sebelum ditunjuk sebagai Kepala Staf Teritorial IV, Semarang, pada tahun yang sama, dan menjadi Panglima Teritorial IV 1956-1959 merangkap Dewan Kurator Akademi Militer Nasional.
Soeharto menjabat Deputi I Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 1960-1961 merangkap Ketua Adhoc Retolong Depad, merangkap Panglima Korps Tentara I Tjaduad, merangkap Panglima Konud AD.
Pada 1962-1963, Soeharto menjadi Panglima Mandala merangkap Dejanid, Panglima Kostrad 1963-1965, Menteri Pangad/Kastaf KOTI tahun 1966.
Atas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan 30 September 1965 berupa aksi penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, Soeharto tampil menumpas pemberontakan itu. PKI dibubarkan, pimpinan, pengurus, anggota dan simpatisan PKI banyak yang ditangkap dan dibunuh.
Melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto ditunjuk sebagai pengambil segala tindakan untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Pada 27 Maret 1966, Soeharto merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri ad interim Hankam, kemudian menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Menteri Utama Hankam. Ia juga menjadi Menteri Panglima AD pada 1 Juli 1966.
Pada 22 Juli 1966, Soeharto dipercaya MPRS sebagai Penjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soekarno sampai 28 Maret 1968. Ia tampil sebagai pemimpin Orde Baru yang mengoreksi total Orde Lama era Soekarno.
Soeharto kemudian dipercaya menjadi Presiden RI periode 1968-1973, 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998. Perhatikan periode kepemimpinan Soeharto yang selalu dihiasi angka 8.
Orde Baru (terdiri atas 8 huruf) menjadi rezim sentralistik, terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas dan kesinambungan pembangunan dan demokrasi. Pemerintahan berciri militeristik. Mereka yang bersuara berbeda dengan pemerintah, dikebiri, dicap sebagai penghambat pembangunan, kekiri-kirian atau antek PKI dan anti Pancasila.
Hak-hak politik rakyat pun sangat dibatasi secara ketat. Partai Politik dikurangi menjadi hanya dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara eksplisit dinyatakan bukan sebagai partai politik tetapi menjadi organisasi peserta pemilu bersama kedua partai politik itu.
Soeharto yang menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar ditambah birokrasi dan ABRI yang turut menjadi pilar kekuatan Golkar tentu saja membuat Golkar selalu tampil sebagai mayoritas tunggal dalam Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 dan dalam parlemen atau di MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sidang Umum MPR pada Maret 1998 pun memilih kembali Soeharto untuk periode 1998-2003 di tengah gelombang gerakan reformasi pasca krisis moneter sejak Juli 1997 dan rasa “miris” yang seringkali diungkapkan Soeharto ketika itu apakah rakyat memang benar-benar menginginkan dia untuk terus memimpin.
Selang dua bulan menjabat Presiden pada periode ketujuh kepemimpinan lima tahunannya, ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 lantaran didesak mundur bahkan oleh Ketua MPR Harmoko yang mantan Menteri Penerangan dan dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, berbagai kerusuhan massa yang tak terkendali, dan kegagalan Soeharto dalam membentuk Komite Reformasi karena tidak mendapatkan tanggapan dari tokoh-tokoh lain.
“Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan fraksi-fraksi, saya memutuskan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, hari Kamis 21 Mei 1998,” kata Soeharto di Istana Merdeka sekitar pukul 09:05 WIB seusai silaturahmi antara jajaran pemerintahannya dengan pimpinan MPR/DPR dan fraksi-fraksi MPR/DPR.
Wapres BJ Habibie di tempat yang sama mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden menggantikan Soeharto di hadapan Mahkamah Agung. Pelantikan tak berlangsung di Gedung MPR/DPR karena “gedung rakyat” diduduki mahasiswa.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto di tempat yang sama juga memberikan keterangan lisan bahwa ABRI akan memberikan jaminan keamanan bagi Soeharto dan keluarganya.
Pasca Soeharto lengser keprabon, tuntutan hukum terhadap dirinya atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) meskipun gencar dilakukan tetapi tak kunjung membuahkan hasil.
Sejumlah kasus korupsi yang dituduhkan kepada Soeharto tak terlepas dari praktek pada sejumlah yayasan yang dipimpinnya seperti Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dakab (Dana Abadi Karya Bhakti), Dana Sejahtera Mandiri, Trikora, Dharmais, dan Harapan Kita.
Pengadilan terhadap Soeharto tak pernah menyeret Soeharto ke balik terali besi. Setidaknya hanya anaknya, Tommy Soeharto, yang pernah dijebloskan ke penjara karena kepemilikan senjata ilegal, selain kroninya, Bob Hasan, dan adiknya, Probosutedjo yang pernah pula dipenjarakan.
Faktor gangguan kesehatan menjadi alasan penyebab Soeharto tak bisa diadili bahkan pihak Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Pengusutan (SP3) atas Soeharto.
Aparat penegak hukum dan pemerintahan pasca Soeharto cenderung pada aspek kemanusiaan mengingat jasa-jasa Soeharto pada negeri ini.
Perkembangan terakhir, Jaksa Agung Hendarman Supandji seusai menjenguk Soeharto pada Sabtu (12/1) dinihari menawarkan “win-win solution” kepada pihak keluarga Soeharto melalui penyelesaian masalah tersebut di luar pengadilan (out of court settlement).
Atas jasa-jasanya, Soeharto sedikitnya memiliki 28 tanda kehormatan Republik Indonesia antara lain Bintang Republik Indonesia Adipurna, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma Utama, dan Bintang Kartika Eka Pakci Utama.
Soeharto pun sempat mengangkat dirinya sebagai Jenderal Besar dan memberikan pangkat tertinggi kehormatan itu pula kepada mantan Ketua MPRS dan mantan Menpangad AH Nasution. Sebelumnya bangsa Indonesia hanya mengenal pahlawan Sudirman sebagai Panglima Besar berpangkat Jenderal Besar.
Selain itu Soeharto juga memiliki 37 tanda kehormatan mancanegara seperti “The United Nations Population Award” dari PBB karena berhasil dalam program Keluarga Berencana, “From Rice Importer to Self Sufficiency” dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) karena berhasil dalam swasembada beras tahun 1984, “Health for all Gold Medal” dari Organisasi Kesehatan dunia (WHO) karena berhasil dalam memajukan bidang kesehatan.
Termasuk mendapat sejumlah bintang kehormatan tertinggi dari kepala negara-negara sahabat seperti “Knight Cross of The Order of The Bath” (Inggris), “Grand Cordon of The Supreme Order of The Chrysanthenum” (Jepang), “Grand Collier” (Italia), “Grand Croix de la Legion D`Honneur” (Prancis), “Badar” (Arab Saudi), “The Order of The Golden Ark” dan “Order van de Nedherlandse Leeuw” (Belanda), “Sonderstufe des Grosskreuzes” (Jerman), dan “Grand Collar of the Nile” (Mesir).
Bagi para pembantu pemerintahannya, Soeharto dikenal memiliki “hasta brata” atau 8 prilaku seperti surya melambangkan sikap menghidupi, “condra” (bulan) menenangkan, “kartika” (bintang) yang menjadi pedoman atau suri tauladan, “angkosa” (angkasa) yang adil, “dahono” (api) yang berani mengambil keputusan, “maruta” (angin) yang mengerti, “samodra” (lautan) yang berpandangan luas, dan bumi yang melambangkan kesentosaan dan realistis.
Soeharto kini telah menyusul mendiang istrinya yang wafat tahun 1997. Soeharto meninggalkan enam anak dan sejumlah cucu.
Istrinya yang wafat bertepatan dengan Hari Raya Iduladha 10 Dzulhijjah 1418 H itu telah dimakamkan di pemakaman keluarga di Astana Giribangun, di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jenazah Soeharto pun akan dimakamkan di sisi makam istrinya.
Manusia tak luput dari kesalahan. Tidak semua kesalahan dapat dihukum di dunia. Tetapi di akhirat kelak, agama mengajarkan tak ada kesalahan sekecil apapun yang luput dari hukum Tuhan.
Selamat jalan Soeharto. Namamu yang terdiri atas 8 huruf selalu dikenang bangsa Indonesia.(*) Sumber: Antara News (Budi Setiawanto dan GN Cahya Aryani)